Jumat, 01 April 2011

KAJIAN TENTANG ORAL SEKS DALAM SYARIAH ISLAM

Salah satu tema
pembahasan yang
menarik dan menghangat
tentang
teknik hubungan suami
istri dalam
koridor syariah adalah
tentang boleh
tidaknya 'oral seks'.
Begitu
populernya masalah ini
sehingga tak
perlu lagi dijelaskan
pengertian atau
definisi dari aktifitas oral
seks
tersebut. Sudah cukup
tergambar
dari istilah yang
digunakan. Mereka
yang melarang hal ini
berpendapat
dengan sebuah ayat : “
Maka
campurilah mereka di
tempat yang
diperintahkan Allah
kepadamu “ ( QS
Al-Baqarah 222).
Sebagaimana kita
ketahui, tempat yang
memang
dikhususkan untuk
berjimak adalah
farj atau kemaluan.
Selain itu, pada
hakikatnya adalah
melanggar
ketentuan.
Di lain pihak, mereka
yang
memperbolehkan
berpendapat
dengan ayat yang tidak
jauh
letkanya : “ Istrimu
adalah
ladangmu, garaplah
ladangmu itu
bagaimana saja yang
kamu
kehendaki (sesuai
keinginanmu)
“ (QS Al-Baqoroh 223).
Menurut
mereka, yang jelas-jelas
dilarang
dalam banyak hadits
adalah
berjimak pada dubur istri,
sedang
selain itu maka
hukumnya kembali
sebagaimana
diisyaratkan secara
mutlak dalam ayat
tersebut.
Ada lagi yang bersikap
menengah, bahwa oral
seks dengan
tujuan sebatas istimta',
atau
muda'abah (foreplay)
untuk
pemanasan ke arah jimak
(intercouse)
diperbolehkan tidak
mengapa, asalkan tidak
benar-benar
berorientasi jimak
(mengeluarkan
sperma). Jika orientasi
oral seks
adalah mengeluarkan
sperma atau
orgasme, maka
dikhawatirkan
menyalahi ayat di atas
( QS 2 : 222 ),
juga menyalahi dari salah
satu
tujuan jimak yaitu
menghasilkan
keturunan.
Terlepas dari berbagai
pandangan
di atas, ada baiknya kita
menjelajahi
berbagai perkataan yang
membahas
masalah ini. Imam Syafii
ra secara
umum mengenai aktifitas
ini
menyatakan tanpa ragu :
“ Adapun
menikmati, dengan
memasukkan
penis dalam vagina,
diantara kedua
(belahan) pantat dan
semua tubuh,
maka tidak mengapa
insya Allah
ta ’ala “ (Al-Umm
( V/137)). Imam
Al-Qurtubi mengutip
pendapat
Ashbagh bin al-Faraj,
sahabat Imam
Malik yang juga seorang
pembesar
fuqaha Malikiyah, ia
mengatakan :
Boleh menjilatnya
( kemaluan
suami/istri) ( Jami ’ Li
Ahkamil Quran,
Tafsir Surat An-Nur 31).
Al-Qadhi
Asy-Syaikh Muhammad
Ahmad
Kan ’an mengatakan :
Boleh saja
seorang suami
mengeluarkan
maninya dengan tangan
istrinya,
atau dengan anggota
tubuhnya
yang lain karena hal itu
termasuk
istimta ’ dengan cara
Mubasyaroh.
Dalam kasus yang hampir
serupa,
Imam Abu Hamid Al-
Ghozali dalam
Ihya Ulumuddin
menyatakan :
“ Suami juga boleh
mengeluarkan
mani dengan tangan
istrinya “ ( Ihya
Ulumuddin II/741 bab
Adabun
Nikah). Adapun saat istri
sedang
haidh, Rasulullah saw
memberikan
batasan umum kepada
para suami :
“ Lakukan apa saja yang
kalian
kehendai kecuali nikah
(jimak) “ ( HR
Muslim dan Abu Dawud).
Hadits ini
mengisyaratkan tentang
kebolehan
secara umum mencari
kenikmatan
pada istri yang haidh
kecuali pada
farj dengan berjimak.
Memang permasalahan
tidak
menjurus pada
keharaman, namun
berkisar pada adab,
antara makruh
ataupun boleh. Karena
untuk
mengharamkan sesuatu,
tentu
membutuhkan nash yang
shahih
dan shorih sebagaimana
pelarangan
berjimak pada dubur istri.
Selain itu
kita juga tidak
menafikkan unsur-
unsur lain yang
berhubungan
dengan oral seks, yaitu
tentang
kerelaan istri apakah jijik
atau tidak,
maupun unsur kesehatan
apakah
hal ini higenis dan aman
ataukah
sebaliknya. Mengingat
'penis' bagi
laki-laki selain untuk
organ
reproduksi juga sebagai
saluran
pembuangan urine yang
menyimpan potensi untuk
menjadi
kotor dan berbahaya. Dr.
Wahbah
Zuhaily dalam Fiqh Islami
juga
menyatakan hal ini,
bahwa oral seks
selain kurang pantas
karena
menjijikkan juga
mengandung
unsur dan pengaruh
budaya barat
yang kurang mengenal
adab. Nah
lo ?’
Teakhir, saya mempunyai
sedikit
pandangan khusus
mengenai oral
seks. Khususnya
mengenai
ketidakbolehannya atau
kekurangpantasannya.
Pertama,
bersandar dari hadist
dengan
riwayat shahih tentang
ketidakbolehannya
menyentuh
penis/dzakar dengan
tangan kanan.
Memang pengharaman
ini oleh
sebagian ulama dianggap
sebagai
tahrim tanzihi, atau
sebagai sebuah
bentuk kehati-hatian.
Namun
bagaimanapun bisa kita
masukkan
sebagai sebuah standar
kekurangpantasan jika
itu dilakukan.
Nah, qiyas sederhananya ;
jika
tangan kanan dilarang
memegang
penis , mungkin karena
fungsi ‘suci’
tangan kanan untuk
makan dan lain
sebagainya, maka mulut
sebagai
jalur utama makanan
seharusnya
lebih ‘prioritas’ dalam
masalah ini.
Sandaran kedua dalam
masalah
ini adalah berkaitan
tentang hukum
madhi. Madhi adalah
cairan jernih
lengket yang keluar dari
zakar saat
bermesraan. Para ulama
bersepakat
menganggap hukum
madhi adalah
najis dan membatalkan
wudhu. Dalil
mereka antara lain
jawaban
Rasulullah SAW ketika
ditanya
tentang status hukum
madhi. Beliau
bersabda : “ Berwudhulah
(dari
madhi) dan cucilah
zakarmu “ .
Selanjutnya, sesuai
kaidah umum
bahwa segala sesuatu
yang najis itu
haram dan harus dijauhi,
maka
madhi yang keluar dari
zakar
semestinya juga harus
dijauhi.
Bukan saja karena
kenajisannya,
melainkan juga karena
keharamannya. Dengan
demikian ,
aktifitas oral seks yang
secara
umum melibatkan madzi
sama
sekali bertentangan
dengan perintah
agama Islam yang hanif
dalam
menjauhi segala sesuatu
yang najis
dan haram.
Dalam masalah ini
beberapa ulama
juga mempunyai
beberapa
pandangana. Mufti Saudi
Arabia
bagian Selatan, Asy-
Syaikh
Al`Allamah Ahmad bin
Yahya An-
Najmi berpendapat
bahwa isapan
istri terhadap kemaluan
suaminya
(oral seks) adalah haram
dikarenakan
kemaluannya itu bisa
memancarkan cairan
(madzi). Para
ulama telah bersepakat
bahwa
madzi adalah najis. Jika ia
masuk
kedalam mulutnya dan
tertelan
sampai ke perut maka
akan dapat
menyebabkan penyakit.
Adapun
Syeikh Yusuf al
Qaradhawi
memberikan fatwa
bahwa oral seks
selama tidak menelan
madzi yang
keluar dari kemaluan
pasangannya
maka ia adalah makruh
dikarenakan
hal yang demikian adalah
salah satu
bentuk kezhaliman
(diluar kewajaran
dalam berhubungan).
Setelah semua paparan di
atas, ada
baiknya kita pakai
langkah terakhir
dalam menimbang
masalah oral
seks. Istafti qolbaka,
demikian para
ulama kita sering
menganjurkan.
Bertanyalah pada hati
anda. Apakah
anda menemukan
ketenangan atau
justru kegelisahan ?
Wallahu a ’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar