Sabtu, 02 April 2011

HUKUM ONANI / MASTURBASI DALAM ISLAM

Dalam kamus bahasa Arab, kata
“ istimna” atau “Jildu” dan “Umairah”
berarti mengeluarkan sperma
dengan tangannya, kemudian
Istimna, apabila sering dilakukan
akan menjadikannya sebagai adat
dan kebiasaan bagi yang
melakukannya, sehingga lahirlah
makna baru yaitu “Al-’Adah As-
Sirriyah” yang artinya adat atau
kebiasaan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
Onani, masturbasi, coli, main
sabun, dan lain-lain, merupakan
satu istilah untuk menyatakan
kegiatan yg dilakukan seseorang
yang masih muda dalam
memenuhi kebutuhan seksualnya,
dengan menggunakan tangan
maupun dengan menambahkan alat
bantu berupa sabun atau benda-
benda lain, sehingga dengannya dia
bisa mengeluarkan mani dan
membuat dirinya (lebih) tenang.
Istilah Onani sendiri, berasal dari
kata Onan, salah seorang anak dari
Judas, cucu dari Jacob. Dalam salah
satu cerita di Injil, diceritakan bahwa
Onan disuruh oleh ayahnya (Judas)
untuk bersetubuh dengan istri
kakaknya, namun Onan tidak bisa
melakukannya sehingga saat
mencapai puncaknya, dia
membuang spermanya (mani) di
luar (di kemudian hari tindakan ini
dikenal dengan istilah azl (dalam
bahasa Arab) atau coitus interruptus
(dalam istilah kedokterannya). Dari
cerita Onan ini terdapat dua versi.
Ada yang berpendapat bahwa Onan
berhubungan badan dengan istri
kakaknya lalu membuang maninya
di luar. Dan ada juga yang
menyebutkan bahwa Onan tidak
menyetubuhi istri kakaknya,
malainkan ia melakukan pemuasan
diri sendiri (coli) karena ketidak
beraniannya untuk menyetubuhi
sedangkan birahi di dada semakin
memuncak, sehingga dari
perbuatan Onan ini lahirlah istilah
Onani sebagai penisbahan terhadap
perbuatannya.
Pandangan Islam tentang Onani
Bila kita membaca buku-buku fiqh
dan fatawa para ulama, akan
dijumpai bahwa mayoritas ulama
seperti Syafi ’i, Maliki, Ibnu Taimiyah,
Bin Baz, Yusuf Qardhawi dan
lainnya mengharamkannya, dengan
menggunakan dalil firman Allah
SWT dalam Al-Qur ’an, yang
artinya:”Dan orang-orang yang
memelihara kemaluan mereka
kecuali terhadap isterinya tau hamba
sahayanya, mereka yang demikian
itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa
berkehendak selain dari yang
demikian itu, maka mereka itu
adalah orang-orang yang melewati
batas ”[Al-Mu'minun : 5-7].
Ayat ini menerangkan bahawa
seseorang yang menjaga
kehormatan diri hanya akan
melakukan hubungan seksual
bersama isteri-isterinya atau hamba-
hambanya yang sudah dinikahi.
Hubungan seksual seperti ini adalah
suatu perbuatan yang baik, tidak
tercela di sisi agama. Akan tetapi
jikalau seseorang itu mencoba
mencari kepuasan seksual dengan
cara-cara selain bersama
pasangannya yang sah, seperti zina,
pelacuran, onani atau persetubuhan
dengan binatang, maka itu
dipandang sebagai sesuatu yang
melampaui batas dan salah lagi
berdosa besar, karena
melakukannya bukan pada
tempatnya. Demikian ringkas
penerangan Imam as-Shafie dan
Imam Malik apabila mereka ditanya
mengenai hukum onani.
Selain ayat di atas, para ulama juga
menggunakan dalil dari hadis Nabi
SAW, yang artinya: ”Wahai sekalian
para pemuda, barangsiapa di antara
kamu yang mempunyai
kemampuan hendaklah segera
menikah, karena nikah itu lebih
menundukkan mata dan lebih
menjaga kehormatan diri. Dan
barangsiapa yang belum mampu
hendakanya berpuasa, karena puasa
itu dapat membentenginya ”. Pada
hadits tadi Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam menyebutkan dua
hal, yaitu : Pertama, Segera menikah
bagi yang mampu. Kedua,
Meredam nafsu syahwat dengan
melakukan puasa bagi orang yang
belum mampu menikah, sebab
puasa itu dapat melemahkan
godaan dan bisikan syetan.
Shah Waliullah Dahlawi
menerangkan: Ketika air mani keluar
atau muncrat dengan banyak, ia
juga akan mempengaruhi fikiran
manusia. Oleh sebab itu, seorang
pemuda akan mulai menaruh
perhatian terhadap wanita cantik dan
hati mereka mulai terpaut
kepadanya. Faktor ini juga
mempengaruhi alat jantinanya yang
sering meminta disetubuhi
menyebabkan desakan lebih
menekan jiwa dan keinginan untuk
melegakan syahwatnya menjadi
kenyataan dengan berbagai bentuk.
Dalam hal ini seorang bujang akan
terdorong untuk melakukan zina.
Dengan perbuatan tersebut
moralnya mulai rusak dan akhirnya
dia akan tercebur kepada perbuatan-
perbuatan yang lebih merusak.
Melakukan onani secara keseringan
juga banyak membawa mudharat
kepada kesehatan dan seseorang
yang membiasakan diri dengan
onani akan mengalami kelemahan
pada badan, anggota tubuh yang
tergetar-getar atau terkaku,
penglihatan yang kabur, perasaan
berdebar-debar dan kesibukan
fikiran yang tidak menentu. Kajian
perubatan juga membuktikan
bahawa kekerapan melakukan onani
akan memberi dampak negatif
kepada kemampuan seseorang
untuk menghasilkan sperma yang
sehat dan cukup kadarnya dalam
jangka masa panjang. Ini akan
menghalangi seseorang dalam
menghasilkan zuriat-zuriat bersama
pasangan hidupnya bahkan lebih
dari itu, mengakibatkan inpotensi
seksual dalam umur yang masih
muda. Bahkan ada sebagian ulama
yang menulis kitab tentang masalah
ini, di dalamnya dikumpulkan
bahaya-bahaya kebiasan buruk
tersebut.
Pendapat yang membolehkan
Dari hasil bacaan, kebanyakan
hukum pengharamannya itu tertuju
pada pemuda yang belum menikah
tanpa melihat orang yang telah
menikah yang tinggal berjauhan
(long distance), yang mana menurut
saya, Onani atau masturbasi bagi
mereka termasuk ke dalam kategori
ayat yang dijadikan sebagai dalil
pengharamannya yaitu sebagai
pengaplikasian dari memelihara
kemaluan mereka agar terhindar
dari hal-hal yang lebih merusak.
Karena orang yang pernah
merasakan nikmatnya bersetubuh
akan lebih besar kemungkinannya
untuk merasakan yang lain, berbeda
dengan orang yang belum pernah,
dan hal ini sesuai dengan kaedah
ushul fiqh yang menyatakan
bahwa: ”Dibolehkan melakukan
bahaya yang lebih ringan supaya
dapat dihindari bahaya yang lebih
berat ”. Dan akan ditemukan pula
hukum yang membolehkan onani
pun, tertuju pada remaja dan
pemuda yang belum mampu untuk
menikah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa masturbasi
yang dilakukan oleh orang yang
telah menikah adalah boleh.
Adapun hukum yang membolehkan
onani bagi remaja yang belum
menikah, dapat dilihat dari pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal yang
mengatakan bahwa sperma atau
mani adalah benda atau barang lebih
yang ada pada tubuh yang mana
boleh dikeluarkan sebagaimana
halnya memotong dan
menghilangkan daging lebih dari
tubuh. Dan pendapat ini diperkuat
oleh Ibnu Hazm. Akan tetapi, kondisi
ini diperketat dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh ulama-ulama
Hanafiah dan fuqaha hanbali, yaitu:
Takut melakukan zina, Tidak
mampu untuk kimpoi (nikah) dan
tidaklah menjadi kebiasaan serta
adat.
Dengan kata lain, dengan dalil dari
Imam Ahmad ini, onani boleh
dilakukan apabila suatu ketika insting
(birahi) itu memuncak dan
dikhawatirkan bisa membuat yang
bersangkutan melakukan hal yg
haram. Misalnya, seorang pemuda
yang sedang belajar di luar negeri,
karena lingkungan yang terlalu
bebas baginya (dibandingkan
dengan kondisi asalnya) akibatnya
dia sering merasakan instingnya
memuncak. Daripada dia melakukan
perbuatan zina mendingan onani,
maka dalam kasus ini dia
diperbolehkan onani.
Namun apa yang terbaik ialah apa
yang ditunjukkan oleh Rasulullah
SAW terhadap pemuda yang tidak
mampu untuk kimpoi, yaitu
hendaklah dia memperbanyakkan
puasa, di mana puasa itu dapat
mendidik keinginan, mengajar
kesabaran dan menguatkan takwa
serta muraqabah kepada Allah Taala
di dalam diri seorang muslim.
Sebagaimana sabdanya: ”Wahai
sekalian pemuda! Barangsiapa di
antara kamu mempunyai
kemampuan, maka kimpoilah, karen
ia dapat menundukkan pandangan
dan memelihara kemaluan, tetapi
barangsiapa yang tidak
berkemampuan, maka hendaklah
dia berpuasa karena puasa itu
baginya merupakan pelindung. ” (HR
Bukhari).
source : http://
luluvikar.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar