Sabtu, 02 April 2011

HUKUM DAN MAKNA MEMINANG (KHITBAH)

A. MAKNA DAN HUKUM
MEMINANG
Al-Khitbah dengan dikasrah
“ kho’”nya berarti pendahuluan
“ikatan pernikahan” yang
maknanya : permintaan seorang
laki-laki pada wanita untuk dinikahi.
Dan hal ini pada umumnya ada
pada laki-laki. Maka yang memulai
disebut “khoothoban” (yang
meminang) sedang yang lain
disebut “makhthuuban” (yang
dipinang).
Meminang itu sunnah sebelum akad
nikah, karena Nabi Muhammad r
meminang untuk dirinya dan untuk
yang lain. Dan tujuan meminang
yaitu : mengetahui pendapat yang
dipinang, apakah ada setuju atau
tidak. Demikian juga untuk
mengetahui pendapat walinya.
Meminang itu akan mengungkap
keadaan, sikap wanita itu dan
keluarganya. Dimana kecocokan dua
unsur ini dituntut sebelum akad
nikah, dan Nabi r telah melarang
menikahi seorang wanita kecuali
dengan izin wanita tersebut,
sebagaimana diriwayatkan Imam
Bukhori dan Muslim dari Abu
Hurairah t berkata: telah bersabda
Rasulullah r : “Tidak dinikahi seorang
janda kecuali sampai dia minta dan
tidak dinikahi seorang gadis sampai
dia mengijinkan (sesuai
kemauannya). Mereka bertanya “Ya
Rasulullah, bagaimana ijinnya ?
Beliau menjawab : “Jika dia diam”.
Maka bila janda dikuatkan dengan
musyawarahnya dan wali butuh
pada kesepakatan yang terang-
terangan untuk menikah. Adapun
gadis, wali harus minta ijinnya,
artinya dia dimintai ijin/
pertimbangan untuk menikah dan
tidak dibebani dengan jawaban yang
terang-terangan untuk
menunjukkan keridhaannya,
tetacukup dengan diamnya,
sungguh dia malu untuk menjawab
dengan terang-terangan. Dan
makna ini juga terdapat dalahadits
‘ Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa
beliau berkata : “Ya Rasulullah,
sesungguhnya gadis itu akan malu”,
maka beliau bersabda:
“Ridhanya ialah diamnya” HR
Bukhori dan Muslim
Akan tetapi hendaknya diyakinkan
bahwa diamnya adalah diam ridha,
bukan diam menolak, dan itu harus
diketahui oleh walinya dengan
melihat kenyataan dan tanda-
tandanya. Dan perkara ini tidak
samar lagi bagi wali pada
umumnya. Adapun kesepakatan
wali dari pihak wanita itu merupakan
perkara yang harus dan merupakan
syarat dalam nikah menurut jumhur
ulama karena jelasnya hadits dari
Nabi r yang bersabda :
“Tidak ada nikah kecuali dengan
wali” HR Ahmad dan Ashhabus
Sunan
Dan jumhur mengambil dalil atas
syarat ridhanya wali dengan firman
Allah SWT :
“Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya” Al-
Baqarah : 232
Artinya : Jangan kau cegah wanita
yang tercerai untuk kembali ke
pangkuan suaminya, karena dia
lebih berhak untuk ruju ’, jika
memungkinkan secara syariat. Telah
berkata Imam Syafii “Ini ayat yang
paling jelas tentang permasalahan
wali dan kalau tidak maka
pelarangan wali tidak bermakna ”.
(Lihat Subulussalaam Syarah
Bulughul Maram, Ash-Shan ’any, jus
3 hal 130).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar