Selasa, 31 Mei 2011

SEORANG MUSLIM YANG IKHLAS YAITU SEORANG YANG TIDAK MUDAH KECEWA DAN BERPUTUS ASA TERHADAP APA YANG TELAH DI GARISKAN UNTUKNYA

Rukun Iman keenam menyebutkan bahwa umat Muslim wajib mempercayai takdir dan ketentuan Allah SWT (Qada dan Qadar). Artinya, Allah SWT memiliki kuasa penuh atas jagad raya dan isinya, termasuk manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya. Sebagai Sang Pencipta, Allah SWT sudah menuliskan takdir atas hambanya jauh sebelum ia dilahirkan ke dunia. Oleh karena itu, sebagai manusia kita hanya dapat menyempurnakan ikhtiar dengan melakukan amalan- amalan soleh dengan hati yang ikhlas. Islam menganjurkan umatnya agar ikhlas dalam melakukan segala perbuatan. Ikhlas dalam beribadah, ikhlas dalam beramal, ikhlas dalam bekerja, ikhlas dalam menerima jalan hidup yang telah digariskan oleh Allah SWT. Ikhlas artinya bersih, murni. Ikhlas dalam beribadah dan beramal soleh yaitu semata-mata hanya untuk Allah SWT dan mengharap ridho dari- Nya. Allah sangat mencintai umatnya yang beribadah dengan ikhlas. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seolah-oleh engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu.” (HR. Muslim). Ciri seorang mukmin yang ikhlas yaitu tidak mengharapkan pujian dari orang lain. Ia pun tidak mengharapkan balasan yang muluk-muluk dari Allah SWT, melainkan pahala, rahmat, dan ridho dari Alah SWT. Sebaliknya, bila seseorang melakukan suatu perbuatan bukan karena Allah maka ia akan terjerumus dalam perbuatan dosa, yaitu riya. Rasulullah SAW telah memperingati kita akan penyakit hati ini, “ Sesungguhnya yang aku khawatirkan atas diri kalian adalah syirik kecil, yaitu riya.” (HR. Ahmad Shahih). Selain ikhlas dalam beribadah dan beramal soleh, ikhlas juga dibutuhkan oleh setiap manusia dalam menerima takdir dan ketentuan Allah SWT. Kesenangan, kesusahan, kehidupan, kematian, dan lain sebagainya merupakan rahasia Allah yang tidak satupun manusia mengetahuinya lebih dulu. Seseorang yang ikhlas berarti ia dapat menerima apa yang telah Allah berikan kepadanya, tentunya setelah ikhtiar yang telah dilakukannya

Senin, 16 Mei 2011

MAKNA MUHASABAH (EVALUASI DIRI)

Dari Syadad bin Aus r.a., dari
Rasulullah saw., bahwa beliau
berkata, ‘Orang yang pandai adalah
yang menghisab (mengevaluasi)
dirinya sendiri serta beramal untuk
kehidupan sesudah kematian.
Sedangkan orang yang lemah
adalah yang dirinya mengikuti hawa
nafsunya serta berangan-angan
terhadap Allah swt. (HR. Imam
Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini
adalah hadits hasan’)
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas menggambarkan
urgensi muhasabah (evaluasi diri)
dalam menjalani kehidupan di dunia
ini. Karena hidup di dunia
merupakan rangkaian dari sebuah
planing dan misi besar seorang
hamba, yaitu menggapai keridhaan
Rab-nya. Dan dalam menjalankan
misi tersebut, seseorang tentunya
harus memiliki visi (ghayah),
perencanaan (ahdaf), strategi
(takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan
evaluasi (muhasabah). Hal terakhir
merupakan pembahasan utama
yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.
dalam hadits ini. Bahkan dengan
jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi
dengan kesuksesan, sedangkan
kegagalan dengan mengikuti hawa
nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits di atas dibuka Rasulullah
dengan sabdanya, ‘Orang yang
pandai (sukses) adalah yang
mengevaluasi dirinya serta beramal
untuk kehidupan setelah
kematiannya. ’ Ungkapan sederhana
ini sungguh menggambarkan
sebuah visi yang harus dimiliki
seorang muslim. Sebuah visi yang
membentang bahkan menembus
dimensi kehidupan dunia, yaitu visi
hingga kehidupan setelah kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya
hanya berwawasan sempit dan
terbatas, sekedar pemenuhan
keinginan untuk jangka waktu
sesaat. Namun lebih dari itu,
seorang muslim harus memiliki visi
dan planing untuk kehidupannya
yang lebih kekal abadi. Karena orang
sukses adalah yang mampu
mengatur keinginan singkatnya
demi keinginan jangka panjangnya.
Orang bertakwa adalah yang ‘rela’
mengorbankan keinginan
duniawinya, demi tujuan yang lebih
mulia, ‘kebahagian kehidupan
ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah swt.
seringkali mengingatkan hamba-
hamba-Nya mengenai visi besar ini,
di antaranya adalah dalam QS. Al-
Hasyr (59): 18 –19.
Muhasabah atau evaluasi atas visi
inilah yang digambarkan oleh
Rasulullah saw. sebagai kunci
pertama dari kesuksesan. Selain itu,
Rasulullah saw. juga menjelaskan
kunci kesuksesan yang kedua, yaitu
action after evaluation. Artinya
setelah evaluasi harus ada aksi
perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan
oleh Rasulullah saw. dengan
sabdanya dalam hadits di atas
dengan ’dan beramal untuk
kehidupan sesudah kematian.’
Potongan hadits yang terakhir ini
diungkapkan Rasulullah saw.
langsung setelah penjelasan tentang
muhasabah. Karena muhasabah
juga tidak akan berarti apa-apa tanpa
adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat
dari hadits di atas, khususnya dalam
penjelasan Rasulullah saw.
mengenai kesuksesan. Orang yang
pandai senantiasa evaluasi terhadap
amalnya, serta beramal untuk
kehidupan jangka panjangnya yaitu
kehidupan akhirat. Dan evaluasi
tersebut dilakukan untuk
kepentingan dirinya, dalam rangka
peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara kebalikannya, yaitu
kegagalan. Disebut oleh Rasulullah
saw, dengan ‘orang yang lemah’,
memiliki dua ciri mendasar yaitu
orang yang mengikuti hawa
nafsunya, membiarkan hidupnya
tidak memiliki visi, tidak memiliki
planing, tidak ada action dari
planingnya, terlebih-lebih
memuhasabahi perjalanan
hidupnya. Sedangkan yang kedua
adalah memiliki banyak angan-
angan dan khayalan, ’berangan-
angan terhadap Allah.’ Maksudnya,
adalah sebagaimana dikemukakan
oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam
Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut:
Dia (orang yang lemah), bersamaan
dengan lemahnya ketaatannya
kepada Allah dan selalu mengikuti
hawa nafsunya, tidak pernah
meminta ampunan kepada Allah,
bahkan selalu berangan-angan
bahwa Allah akan mengampuni
dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah
meriwayatkan hadits di atas, juga
meriwayatkan ungkapan Umar bin
Khattab dan juga ungkapan Maimun
bin Mihran mengenai urgensi dari
muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar r.a.
mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian
sebelum kalian dihisab, dan
berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk
hari aradh akbar (yaumul hisab).
Dan bahwasanya hisab itu akan
menjadi ringan pada hari kiamat
bagi orang yang menghisab
(evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’
dan visioner, Umar memahami
benar urgensi dari evaluasi ini. Pada
kalimat terakhir pada ungkapan di
atas, Umar mengatakan bahwa
orang yang biasa mengevaluasi
dirinya akan meringankan hisabnya
di yaumul akhir kelak. Umar paham
bahwa setiap insan akan dihisab,
maka iapun memerintahkan agar
kita menghisab diri kita sebelum
mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran
r.a. mengatakan:
‘Seorang hamba tidak dikatakan
bertakwa hingga ia menghisab
dirinya sebagaimana dihisab
pengikutnya dari mana makanan
dan pakaiannya ’.
Maimun bin Mihran merupakan
seorang tabiin yang cukup
masyhur. Beliau wafat pada tahun
117 H. Beliaupun sangat memahami
urgensi muhasabah, sehingga beliau
mengaitkan muhasabah dengan
ketakwaan. Seseorang tidak
dikatakan bertakwa, hingga
menghisab (mengevaluasi) dirinya
sendiri. Karena beliau melihat salah
satu ciri orang yang bertakwa
adalah orang yang senantiasa
mengevaluasi amal-amalnya. Dan
orang yang bertakwa, pastilah
memiliki visi, yaitu untuk
mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi lain dari muhasabah
adalah karena setiap orang kelak
pada hari akhir akan datang
menghadap Allah swt. dengan
kondisi sendiri-sendiri untuk
mempertanggung jawabkan segala
amal perbuatannya. Allah swt.
menjelaskan dalam Al-Qur ’an: “Dan
tiap-tiap mereka akan datang kepada
Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri. ” [QS. Maryam (19):
95, Al-Anbiya’ (21): 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu
Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek yang perlu
dimuhasabahi oleh setiap muslim,
agar ia menjadi orang yang pandai
dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus dievaluasi
setiap muslim adalah aspek ibadah.
Karena ibadah merupakan tujuan
utama diciptakannya manusia di
muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat
(51): 56]
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering kali dianggap
remeh, atau bahkan ditinggalkan
dan ditakpedulikan oleh kebanyakan
kaum muslimin. Karena sebagian
menganggap bahwa aspek ini
adalah urusan duniawi yang tidak
memberikan pengaruh pada aspek
ukhrawinya. Sementara dalam
sebuah hadits, Rasulullah saw.
bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi
Muhammad saw. bahwa beliau
bersabda, ‘Tidak akan bergerak
tapak kaki ibnu Adam pada hari
kiamat, hingga ia ditanya tentang 5
perkara; umurnya untuk apa
dihabiskannya, masa mudanya,
kemana dipergunakannya, hartanya
darimana ia memperolehnya dan ke
mana dibelanjakannya, dan ilmunya
sejauh mana pengamalannya. ’ (HR.
Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang tidak kalah penting
untuk dievaluasi adalah aspek
kehidupan sosial, dalam artian
hubungan muamalah, akhlak dan
adab dengan sesama manusia.
Karena kenyataannya aspek ini juga
sangat penting, sebagaimana yang
digambarkan Rasulullah saw. dalam
sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah
kalian siapakah orang yang bangkrut
itu ?’ Sahabat menjawab, ‘Orang
yang bangkrut diantara kami adalah
orang yang tidak memiliki dirham
dan tidak memiliki perhiasan. ’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang
yang bangkrut dari umatku adalah
orang yang datang pada hari kiamat
dengan (pahala) shalat, puasa dan
zakat, namun ia juga datang dengan
membawa (dosa) menuduh,
mencela, memakan harta orang lain,
memukul (mengintimidasi) orang
lain. Maka orang-orang tersebut
diberikan pahala kebaikan-kebaikan
dirinya. Hingga manakala pahala
kebaikannya telah habis, sebelum
tertunaikan kewajibannya,
diambillah dosa-dosa mereka dan
dicampakkan pada dirinya, lalu dia
pun dicampakkan ke dalam api
neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi
orang yang muflis sebagaimana
digambarkan Rasulullah saw. dalam
hadits di atas. Datang ke akhirat
dengan membawa pahala amal
ibadah yang begitu banyak, namun
bersamaan dengan itu, ia juga
datang ke akhirat dengan membawa
dosa yang terkait dengan
interaksinya yang negatif terhadap
orang lain; mencaci, mencela,
menuduh, memfitnah, memakan
harta tetangganya, mengintimidasi
dsb. Sehingga pahala kebaikannya
habis untuk menutupi
keburukannya. Bahkan karena
kebaikannya tidak cukup untuk
menutupi keburukannya tersebut,
maka dosa-dosa orang-orang yang
dizaliminya tersebut dicampakkan
pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak
memiliki apa-apa, selain hanya dosa
dan dosa, akibat tidak
memperhatikan aspek ini.
Na’udzubillah min dzalik.
4. Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya sangat luas
untuk dibicarakan. Karena
menyangkut dakwah dalam segala
aspek; sosial, politik, ekonomi, dan
juga substansi dari da ’wah itu
sendiri mengajak orang pada
kebersihan jiwa, akhlaqul karimah,
memakmurkan masjid,
menyempurnakan ibadah,
mengklimakskan kepasrahan abadi
pada ilahi, banyak istighfar dan
taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan
sangat substansial pada evaluasi
aspek dakwah ini yang perlu
dievaluasi adalah, sudah sejauh
mana pihak lain baik dalam skala
fardi maupun jama ’i, merasakan
manisnya dan manfaat dari dakwah
yang telah sekian lama dilakukan?
Jangan sampai sebuah ‘jamaah’
dakwah kehilangan pekerjaannya
yang sangat substansial, yaitu
dakwah itu sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika
dijabarkan, juga akan menjadi lebih
luas. Seperti evaluasi dakwah dalam
bidang tarbiyah dan kaderisasi,
evaluasi dakwah dalam bidang
dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah
dalam bidang siyasi, evaluasi
dakwah dalam bidang iqtishadi,
dsb?
Pada intinya, dakwah harus
dievaluasi, agar harakah dakwah
tidak hanya menjadi simbol yang
substansinya telah beralih pada
sektor lain yang jauh dari nilai-nilai
dakwah itu sendiri. Mudah –
mudahan ayat ini menjadi bahan
evaluasi bagi dakwah yang sama-
sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah
jalan (agama) ku, aku dan orang-
orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan
aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik ”. [QS. Yusuf (12): 108]
Sumber : http://
www.dakwatuna.com/2007/
makna-muhasabah/

Minggu, 15 Mei 2011

KENAPA DOA TAK TERKABUL??.....

Do’a itu intinya ibadah. Do’a adalah
senjata. Do’a adalah benteng. Do’a
adalah obat. Do’a adalah pintu segala
kebaikan. Begitulah ungkapan yang
menggambarkan dahsyatnya
kekuatan do ’a. Allah, tempat
diarahkannya do’a, memiliki dua
sifat agung, Ar-Rahman dan Ar-
Rahim. Tentang dua sifat itu,
Abdullah Ibnul Mubarak berkata,
“ Ar-Rahman yaitu jika Dia diminta
pasti memberi, sedang Ar-Rahim
yaitu jika tidak dimintai maka Dia
murka." (Fathul Bari 8/155).
Allah swt berfirman, “Katakanlah,
‘Serulah Allah atau serulah Ar-
Rahman. Dengan nama yang mana
saja kamu seru, Dia mempunyai al
asmaul husna (nama-nama yang
terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya, dan carilah jalan
tengah di antara kedua itu." (QS.Al-
lsra ‘: 110).
Ketika berbagai etika dan syarat do’a
dipenuhi dan dilakukan, mungkinkah
do ’a-do’a yang terucap itu tertolak?
Mungkinkah Allah swt tidak
menerima do ’a yang telah
disampaikan secara tulus dan
bersih? Perhatikanlah dialog antara
Saad bin Abi Waqqas dengan
Rasulullah saw. Suatu kali Saad
datang menghadap kepada
Rasulullah. Saad merasa dirinya
sudah lama bermunajat kepada
Allah, namun keinginannya tak
kunjung dikabulkan. Dengan hati
nelangsa, Saad melaporkan
kegundahan hatinya. “Ya, Rasulullah
saw, aku telah berdo’a, tetapi tak
kunjung dikabulkan juga. Adakah
gerangan yang salah?" Rasulullah
pun menjawab, "Hai Saad,
hindarkanlah makanan haram.
Ketahuilah, setiap perut yang diisi
dengan sesuatu yang haram,
sekalipun hanya sesuap nasi, maka
doanya ditolak selama 40 hari. ”
Dalam hidup ini, mungkin kita
pernah mengalami keadaan
sebagaimana yang dirasakan Sa’ad.
Merasa do’a kita belum dikabulkan
Allah. Tetapi, jawabannya, seperti
diriwayatkan Abdullah bin Shamit,
bahwa Rasulullah saw bersabda,
“ Tidak ada di muka bumi ini seorang
muslim yang berdo’a kepada Allah,
kecuali Allah pasti mengabulkan
do ’anya, atau menghindarkannya
dari keburukan, selama ia tidak
berdo ’a untuk sesuatu yang dosa
atau memutuskan silaturahim.”
Seorang sahabat yang
mendengarnya mengatakan, “Kalau
begitu, kita perbanyak saja berdo’a."
Rasul mengatakan, “Walaupun
kamu perbanyak, maka yang disisi
Allah jauh lebih banyak. ” (HR.
Turmudzi’)
Dalam sabda Rasulullah yanq lain,
juga diriwayatkan oleh Imam
Turmudzi, disebutkan, “Tidak ada
seseorang yang berdo’a kepada
Allah dengan sebuah do’a kecuali
pasti dikabulkan, baik dipercepat di
dunia atau ditabung untuknya di
akhirat, atau dihapuskan darinya
dosa-dosanya sebatas apa yang ia
do ’akan kepada Allah dan selama ia
tidak berdo’a untuk sebuah dosa
atau memutuskan silaturahim, atau
tergesa-gesa meminta agar do ’anya
segera dikabulkan." Mendengar hal
itu, seorang sahabat mengatakan,
“ Ya Rasulullah, bagaimana
seseorang dikatakan tergesa-gesa
ingin segera do ’anya dikabulkan?"
Rasulullah menjelaskan, “Seperti
orang yang mengatakan: ‘Aku
sudah berdoa kepada Allah tapi Allah
tidak mengabulkan do ’aku."
Ini artinya, ada banyak
kemungkinan yang Allah berikan,
tatkala kita merasa do ’a kita belum
dikabulkan. Pertama, memang tidak
dikabulkan karena tidak cukup syarat
dan adab berdoa. Kedua, sudah
dikabulkan tetapi ditunda
pembalasannya, menjadi semacam
investasi di akhirat. Ketiga, diganti
dengan pahala yang lain
seumpamanya dengan berbagai
kebaikan, misalnya dengan
pengampunan dosa, dihindari dari
marabahaya, dibimbing ke arah
yang baik dan sebagainya.
Perhatikanlah sebuah kisah cukup
populer mengenai seorang
salafushalih bernama Ibrahim bin
Adham, yang suatu ketika berjalan
di tengah pulsar kota Basrah, Irak.
Melihat ulama besar kharismatik
yang langka itu, penduduk Basrah
tidak menyia-nyiakan kesempatan
baik itu untuk bertanya. Ketika itu
masyarakat Basrah sedang dilanda
kemelut sosial yang sangat
melelahkan, dan solusi tak kunjung
ditemukan, bahkan do’a pun terasa
tidak membantu memperbaiki
keadaan. Penduduk Basrah pun
mengadu kepada ulama besar
tersebut, ”Wahai Aba Ishak (nama
panggilan akrab Ibrahim bin
Adham), Allah berfirman dalam Al
Qur ’an agar kami berdoa. Kami
warga Basrah sudah bertahun-
tahun memanjatkan do ’a, tetapi
kenapa doa kami tak dikabulkan?”
Ibrahim bin Adham menjawab,
“ Wahai penduduk Basrah, hati kalian
telah mati dalam sepuluh perkara,
bagaimana mungkin do ’a kalian
akan dikabulkan Allah! Kalian
mengakui kekuasaan Allah, tetapi
kalian tidak memenuhi hak-hak-Nya.
Setiap hari kalian membaca Al
Qur ’an, tetapi kalian tidak
mengamalkan isinya. Kalian selalu
mengaku cinta kepada Rasul, tetapi
kalian meninggalkan pola perilaku
sunnah-sunnahnya. Setiap hari
kalian membaca ta ’awudz,
berlindung kepada Allah dari setan
yang kalian sebut sebagai musuh,
tetapi setiap hari pula kalian
memberi makan setan dan
mengikuti langkahnya. Kalian selalu
menyatakan ingin masuk surga,
tetapi perbuatan kalian justeru
bertentangan dengan keinginan itu.
Katanya kalian takut masuk neraka,
tetapi kalian justeru
menncampakkan dirimu sendiri ke
dalamnya. Kalian mengakui bahwa
maut adalah keniscayaan, tetapi
nyatanya kalian tidak
rnerupersiapkan diri untuk
menghadapinya. Kalian sibuk
mencari-cari kesalahan orang lain,
tetapi terhadap kesalahan diri, kalian
malah tidak mampu melihatnya.
Setiap saat kalian menikmati karunia
Allah, tetapi kalian lupa
mensyukurinya. Kalian sering
rnenguburkan jenazah saudaramu,
tetapi kalinn tidak bia mengambil
pelajaran dari peristiwa itu ”
Terakhir, ia mengatakan, ”Wahai
penduduk Basrah, ingatlah sabda
Nabi: Berdo ’alah kepada Allah, tetapi
kalian harus yakin akan dikabulkan.
Hanya saja kalian harus tahu bahwa
Allah tidak berkenan mengabulkan
do ’a dari hati yang lalai dan main-
main.
Karenanya, camkan baik-baik dalam
lubuk hati kita prinsip bahwa Allah
tidak akan melakukan sesuatu yang
tidak baik bagi hamba-Nya yang
berbuat baik. Prinsip seperti ini akan
menjadikan kita tetap menjaga diri,
memelihara batas-batas perintah
Allah, dalam kondisi apapun. Meski
dalam kondisi harapan tak
terpenuhi, hajat yang tidak
tertunaikan, bahkan musibah yang
secara fisik tidak enak, tugas hamba
Allah adalah semata-mata
berpegang teguh kepada tuntunan
dan perintah Allah. Selebihnya, Allah
pasti akan memberi yang terbaik
untuk kita. Hanya saja, kebaikan
menurut Allah tidak selalu dapat
teraba oleh mata dan pikiran kita. Di
sanalah kenapa Allah berfirman
dalam surat Ali- Imran, ”Bisa jadi
apa yang engkau benci itu baik bagi
kalian. Bisa jadi juga apa yang
engkau sukai itu buruk bagi kalian.
(QS. Al-Baqarah: 216). ”.
Wallahu’alam bishowab.