Jumat, 01 April 2011

HUKUM NIKAH MUT'AH

Secara lughawi nikah
berarti ad-
damm wal-jam
’ (penggabungan
dan pengumpulan) atau
al-wath'u
(persetubuhan). Secara
istilahi nikah
adalah ikatan perjanjian
( ‘aqd) yang
telah ditetapkan oleh
Allah SWT
untuk mensyahkan
istimta' atau
hubungan badan antara
laki-laki dan
perempuan yang bukan
mahramnya. Selain
ibadah, nikah
merupakan wujud sikap
ta ’awun
atau kerjasama antara
individu
dalam pendirian lembaga
keluarga
dan sarana reproduksi.
Jumhur fuqaha
berpendapat, bahwa
ada 4 macam nikah
fasidah, nikah
yang rusak atau tidak
sah, yakni
nikah syighar (tukar
menukar anak
perempuan atau saudara
perempuan tanpa
mahar), nikah
mut ’ah (dibatasi dengan
waktu
tertentu yang diucapkan
dalam
‘ aqd), nikah yang
dilakukan terhadap
perempuan yang dalam
proses
khitbah (pinangan) laki-
laki lain, dan
nikah muhallil (siasat
penghalalan
menikahi mantan istri
yang ditalak
bain atau talak yang
tidak bisa
dirujuk lagi).
Namun ada juga yang
menghalalkan nikah
mut ’ah dengan
daasr suat An-Nisa' ayat
24:
ﻓﺂﺗﻮﻫﻦ ﺃﺟﻮﺭﻫﻦ ﻓﺮﻳﻀﺔ
Maka isteri-isteri yang
telah kamu
campuri di antara
mereka,
berikanlah kepada
mereka biaya
kontrak, sebagai suatu
kewajiban.
( “Ujrah” yang umumnya
diartikan
sebagai mahar ini oleh
kalangan
yang membolehkan nikah
mut ’ah
diartikan sebagai biaya
kontrak).
Selain itu dasar
penghalalannya
adalah hadis Nabi
Muhammd SAW
yang diriwayatkan,
ketika Perang
Tabuk, bahwa para
sahabat pernah
diperkenankan untuk
menikahi
perempuan-perempuan
dengan
sistem kontrak waktu.
Nikah mut ’ah menurut
ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah,
khususnya
mazhab empat,
hukumnya haram
dan tidak sah (batal).
Dasar pengambilan,
antara lain dari
kitab Al-Umm Imam Asy-
Syafi ’i juz
V hlm 71, Fatawi
Syar'iyyah Syaikh
Husain Muhammad
Mahluf juz II
hlm 7, kitab Rahmatul
Ummah hlm
21, I ’anatuth Thalibin juz
III hlm 278
– 279, Al-Mizan al-Kubraa
juz II hlm
113, dan As-Syarwani 'alat
Tuhfah
juz Vll hlm. 224.
Imam Syafi ’i mengatakan,
semua
nikah yang ditentukan
berlangsungnya sampai
waktu yang
diketahui ataupun yang
tidak
diketahui (temporer),
maka nikah
tersebut tidak sah, dan
tidak ada hak
waris ataupun talak
antara kedua
pasangan suami istri. (Al-
Umm
V/71)
Syaikh Husain
Muhammad Mahluf
ketika ditanya mekenai
pernikahan
dengan akad dan saksi
untuk masa
tertentu mengatakan
bahwa
seandainya ada laki-laki
mengawini
perempuan untuk
diceraikan lagi
pada waktu yang telah
ditentukan,
maka perkawinannya
tidak sah
karena adanya syarat
tersebut telah
mengalangi
kelanggengan
perkawinan, dan itulah
yang disebut
dengan nikah mut ’ah.
(Fatawi
Syar'iyyah II/7)
Para ulama bersepakat,
bahwa nikah
mut ’ah itu tidak sah, dan
hampir
tidak ada perselisihan
pendapat.
Bentuknya adalah,
misalnya
seseorang mengawini
perempuan
untuk masa tertentu
dengan berkata:
“ Saya mengawini kamu
untuk masa
satu bulan, setahun dan
semisalnya. ”
Perkawinan seperti ini
tidak sah dan
telah dihapus
kebolehannya oleh
kesepakatan para ulama
sejak dulu.
Apalagi praktik nikah
mut'ah
sekarang ini hanya
dimaksudkan
untuk menghalalkan
prostitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar