Sabtu, 02 April 2011

ADAB BERSETUBUH MENURUT SYARIAT

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan
tasawuf? dalam kitab Ihya'
mengenai adab bersetubuh, beliau
berkata:Miring
1. "Disunnahkan memulainya
dengan membaca
Bismillahirrahmaanir-rahiim dan
berdoa, sebagaimana Nabi saw.
mengatakan:
"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan
dan jauhkanlah setan dari apa yang
Engkau berikan kepadaku'."
Rasulullah saw. melanjutkan
sabdanya, "Jika mendapat
anak,maka tidak akan diganggu oleh
setan."
2. Al-Ghazali berkata, "Dalam
suasana ini (akan bersetubuh)
hendaknya didahului dengan kata-
kata manis, bermesra-mesraan dan
sebagainya; dan menutup diri
mereka dengan selimut,
jangan telanjang menyerupai
binatang. Sang suami harus
memelihara suasana dan
enyesuaikan diri, sehingga kedua
pasangan sama-sama dapat
menikmati dan merasa puas."
Berkata Al-Imam Abu Abdullah
Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul
'Ibaad, mengenai sunnah Nabi saw.
dan keterangannya dalam cara
bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:
Tujuan utama dari jimak
(bersetubuh) itu ialah:
1. Dipeliharanya nasab (keturunan),
sehingga mencapai jumlah yang
ditetapkan menurut takdir Allah.
2. Mengeluarkan air yang dapat
mengganggu kesehatan badan jika
ditahan terus.
3. Mencapai maksud dan merasakan
kenikmatan, sebagaimana kelak di
surga.
Ditambah lagi mengenai
manfaatnya, yaitu: Menundukkan
pandangan, menahan nafsu,
enguatkan jiwa dan agar tidak
berbuat serong bagi kedua
pasangan. Nabi saw. telah
menyatakan:
"Yang aku cintai di antara duniamu
adalah wanita dan wewangian."
Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
"Wahai para pemuda! Barangsiapa
yang mampu melaksanakan
pernikahan, maka hendaknya
menikah. Sesungguhnya hal itu
menundukkan penglihatan dan
memelihara kemaluan."
3. Kemudian Ibnul Qayyim
berkata, "Sebaiknya sebelum
bersetubuh hendaknya diajak
bersenda-gurau dan
menciumnya,sebagaimana
Rasulullah saw. melakukannya."
Ini semua menunjukkan bahwa
para ulama dalam usaha mencari
jalan baik tidak bersifat konservatif,
bahkan tidak kalah kemajuannya
daripada penemuan-penemuan atau
pendapat masa kini.
Yang dapat disimpulkan di sini
adalah bahwa sesungguhnya Islam
telah mengenal hubungan seksual
diantara kedua pasangan, suami
istri, yang telah diterangkan dalam
Al-Qur'anul Karim pada Surat Al-
Baqarah, yang ada hubungannya
dengan peraturan keluarga.
Firman Allah swt.:
"Dihalalkan bagi kamu pada
malam hari puasa, bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka
itu adalah pakaian bagimu,dan
kamu pun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena
itu,Allah mengampuni kamu dan
memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka
dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah kamu, hingga
jelas bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu
fajar.Kemudian,
sempurnakanlah puasa itu
sampai malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri
mereka itu, sedangkan kamu
beriktikaf dalam masjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya ..." (Q.s. Al-
Baqarah: 187).
Tidak ada kata yang lebih indah,
serta lebih benar, mengenai
hubungan antara suami-istri, kecuali
yang telah disebutkan, yaitu:
"Mereka itu adalah pakaian bagimu,
dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka." (Q.s. l-Baqarah 187).
Pada ayat lain juga diterangkan,
yaitu:
"Mereka bertanya kepadamu
tentang haid, katakanlah: Haid
itu adalah suatu kotoran. Oleh
sebab itu, hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci maka
campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai
orang-orang yang bertobat dan
menyukai orang-orang yang
menyucikan diri.
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat
bercocok tanammu itu dengan cara
bagaimana saja kamu kehendaki.
Dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan
takwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemuiNya. Dan berilah kabar
gembira bagi orang-orang yang
beriman." (Q.s.
Al-Baqarah: 222-223).
Maka, semua hadis yang
menafsirkan bahwa dijauhinya yang
disebut pada ayat di atas, hanya
masalah persetubuhan saja.Selain
itu, apa saja yang dapat dilakukan,
tidak dilarang.
Pada ayat di atas disebutkan:
"Maka, datangilah tanah tempat
bercocok tanammu dengan cara
bagaimanapun kamu
kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah:
223).
Tidak ada suatu perhatian yang
melebihi daripada disebutnya
masalah dan undang-undang atau
peraturannya dalam Al-Qur'anul
Karim secara langsung,
sebagaimana diterangkan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar