Rabb yang Maha Pemurah yang
telah mengajarkan Al-Qur ’an
Dia telah menciptakan manusia
Mengajarnya pandai berbicara
matahari dan bulan beredar
menurut perhitungan
Dan tumbuh-tumbuhan dan
pohon-pohonan kedua-duanya
tunduk kepada Nya
Dan Allah telah meninggikan
langit dan Dia meletakkan
neraca (keadilan)
Dan Allah telah meratakan bumi
untuk makhluk(Nya)
Maka Nikmat Rabb kamu yang
manakah yang akan kau
dustakan lagi?
(QS.Ar-Rahman)
Nikmat AllaH
Betapa zhalimnya manusia,
bergelimang nikmat Allah tetapi tidak
bersyukur kepada-Nya (Ibrahim:
34). Nikmat yang Allah berikan
kepada manusia mencakup aspek
lahir (zhaahirah) dan batin (baatinah)
serta gabungan dari keduanya.
Surat Ar-Rahman menyebutkan
berbagai macam kenikmatan itu dan
mengingatkan kepada manusia akan
nikmat tersebut dengan berulang-
ulang sebanyak 31 kali, “Maka nikmat
Rabb yang manakah yang kamu
dustakan?”
Baca dan tadabburilah surat Ar-
Rahman. Allah yang Maha
Penyayang memberikan limpahan
nikmat kepada manusia dan tidak
ada satu makhluk pun yang dapat
menghitungnya. Dari awal sampai
akhir surat Ar-Rahman, Allah
merinci nikmat-nikmat itu.
Dimulai dengan ungkapan yang
sangat indah, nama Allah, Dzat Yang
Maha Pemurah, Ar-Rahmaan.
Mengajarkan Al-Qur’an,
menciptakan manusia dan
mengajarinya pandai berkata-kata
dan berbicara. Menciptakan mahluk
langit dengan penuh keseimbangan,
matahari, bulan dan bintang-
bintang. Menciptakan bumi, daratan
dan lautan dengan segala isinya
semuanya untuk manusia. Dan
menciptakan manusia dari bahan
baku yang paling baik untuk
dijadikan makhluk yang paling baik
pula. Kemudian mengingatkan
manusia dan jin bahwa dunia
seisinya tidak kekal dan akan
berakhir. Hanya Allah-lah yang
kekal. Di sana ada alam lain, akhirat.
Surga dengan segala bentuk
kenikmatannya dan neraka dengan
segala bentuk kengeriannya. “Maka
nikmat Rabb yang manakah yang
kamu dustakan?”
Sarana Hidup ( Wasa-ilul Hayah)
Sungguh Maha Agung nama
Rabbmu Yang Mempunyai
kebesaran dan karunia. Marilah kita
sadar akan nikmat itu dan
menysukurinya dengan sepenuh
hati. Dalam surat An-Nahl ayat 78,
ada nikmat yang lain yang harus
disyukuri manusia, “ Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan dia
memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
Cobalah renungkan! Bagaimana jika
manusia hidup di dunia dalam
kondisi buta, maka dia tidak dapat
melihat. Seluruh yang ada di
hadapannya adalah sama. Tidak
dapat melihat keindahan warna-
warni dan tidak dapat melihat
keindahan alam semesta. Coba
sekali lagi renungkan! Bagaimana
jadinya jika manusia hidup di dunia
dalam keadaan buta dan tuli. Maka
dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan
coba sekali lagi renungkan! Jika
manusia hidup di dunia dalam
keadaan buta, tuli, dan gila. Maka
hidupnya dihabiskan di rumah sakit,
menjadi beban yang lainnya.
Demikianlah nikmat penglihatan,
pendengaran, dan akal. Demikianlah
nikmat sarana kehidupan (wasail al-
hayat).
Pedoman Hidup (Manhajul
Hayah)
Sekarang apa jadinya jika manusia
itu diberi karunia oleh Allah mata
untuk melihat, telinga untuk
mendengar, dan akal untuk berpikir.
Kemudian mata itu tidak digunakan
untuk melihat ayat-ayat Allah, telinga
tidak digunakan untuk
mendengarkan ayat-ayat Allah, dan
akal tidak digunakan untuk
mengimani dan memahami ayat-
ayat Allah. Maka itulah seburuk-
buruknya makhluk. Mereka itu
seperti binatang. Bahkan, lebih
rendah dari binatang (Al-A’raf: 179).
Demikianlah, betapa besarnya
nikmat petunjuk Islam (hidayatul
Islam) dan pedoman hidup
(manhajul hayah). Nikmat ini lebih
besar dari seluruh harta dunia dan
seisinya. Nikmat ini mengantarkan
orang-orang beriman dapat
menjalani hidupnya dengan lurus,
penuh kejelasan, dan terang
benderang. Mereka mengetahui
yang hak dan yang batil, yang halal
dan yang haram.
Al-Qur’an banyak sekali membuat
perumpamaan orang yang tidak
menjadikan Islam sebagai pedoman
hidup, diantaranya digambarkan
seperti binatang secara umum dan
binatang tertentu secara khusus,
seperti; anjing, keledai, kera dan babi
(Al-A’raf: 176, Al-Jumu’ah: 5, Al-
Anfal: 55, Al-Maidah: 60).
Diumpamakan juga seperti orang
yang berjalan dengan kepala (Al-
Mulk: 22), buta dan tuli (Al-Maidah:
71), jatuh dari langit dan disambar
burung (Al-Hajj: 31) kayu yang
tersandar (Al-Munafiqun: 4) dan
lainnya.
Pertolongan (An-Nashr)
Ada satu bentuk kenikmatan lagi
yang akan Allah berikan kepada
orang-orang beriman disebabkan
mereka komitmen dengan manhaj
Allah dan berdakwah untuk
menegakkan sistem Islam, yaitu
pertolongan Allah, “ Hai orang-
orang mukmin, jika kamu
menolong (agama) Allah, niscaya
dia akan menolongmu dan
meneguhkan
kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Pertolongan Allah itu sangat banyak
bentuknya, diantaranya
perlindungan dan tempat menetap
(al-iwaa), dukungan Allah sehingga
menjadi kuat (ta’yiid), rizki yang
baik-baik, kemenangan (al-fath),
kekuasaan (al-istikhlaaf),
pengokohan agama (tamkinud-din)
dan berbagai macam bentuk
pertolongan Allah yang lain (Al-
Anfaal: 26, Ash-Shaaf: 10-13 dan An-
Nuur: 55).
Segala bentuk kenikmatan tersebut
baik yang zhahir, bathin, maupun
gabungan antara keduanya haruslah
direspon dengan syukur secara
optimal. Dan dalam bersyukur
kepada Allah harus memenuhi
rukun-rukunnya.
Rukun Syukur
Para ulama menyebutkan bahwa
rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf
(mengakui), tahaddust
(menyebutkan), dan Taat.
Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala nikmat
dari Allah adalah suatu prinsip yang
sangat penting, karena sikap ini
muncul dari ketawadhuan
seseorang. Sebaliknya jika
seseorang tidak mengakui nikmat itu
bersumber dari Allah, maka
merekalah orang-orang takabur.
Tiada daya dan kekuatan kecuali
bersumber dari Allah saja. “Hai
manusia, kamulah yang
berkehendak kepada Allah; dan Allah
dialah yang Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji.” (Fathir: 15)
Dalam kehidupan modern sekarang
ini, orang-orang sekular
menyandarkan segala sesuatunya
pada kemampuan dirinya dan
mereka sangat menyakini bahwa
kemampuannya dapat
menyelesaikan segala problem
hidup. Mereka sangat bangga
terhadap capaian yang telah diraih
dari peradaban dunia, seolah-olah
itu adalah hasil kehebatan ilmu dan
keahlian mereka. Pola pikir ini sama
dengan pola pikir para pendahulu
mereka seperti Qarun dan
sejenisnya. “Sesungguhnya harta
kekayaan ini, tidak lain kecuali dari
hasil kehebatan ilmuku.” (Al-
Qashash: 78)
Dalam konteks manhaj Islam, pola
pikir seperti inilah yang menjadi
sebab utama masalah dan
problematika yang menimpa umat
manusia sekarang ini. Kekayaan
yang melimpah ruah di belahan
dunia Barat hanya dijadikan sarana
pemuas syahwat, sementara dunia
Islam yang menjadi wilayah
jajahannya dibuat miskin, tenderita,
dan terbelakang. Sedangkan umat
Islam dan pemerintahan di negeri
muslim yang mengikuti pola hidup
barat kondisi kerusakannya hampir
sama dengan dunia Barat tersebut,
bahkan mungkin lebih parah lagi.
I’tiraaf adalah suatu bentuk
pengakuan yang tulus dari orang-
orang beriman bahwa Allah itu ada,
berkehendak dan kekuasaannya
meliputi langit dan bumi. Semua
makhluk Allah tidak ada yang dapat
lepas dari iradah (kehendak) dan
qudrah (kekuasaan) Allah.
At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Rabbmu,
Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-
Duhaa: 11)
Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat
Islam melihat bahwa di antara
bentuk syukur nikmat yaitu
mengucapkannya.” Rasul saw.
bersabda, “Tidak bersyukur kepada
Allah orang yang tidak berterima
kasih pada manusia.” (Abu Dawud
dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan
bin Ali, “Jika Anda melakukan
(mendapatkan) kebaikan, maka
ceritakan kepada temanmu.” Berkata
Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang
padamu dari Allah berupa
kenikmatan dan kemuliaan kenabian,
maka ceritakan dan dakwahkan
kepada manusia.”
Orang beriman minimal
mengucapkan hamdalah
(alhamdulillah) ketika mendapatkan
kenikmatan sebagai refleksi syukur
kepada Allah. Demikianlah betapa
pentingnya hamdalah, dan Allah
mengajari pada hamba-Nya dengan
mengulang-ulang ungkapan
alhamdulillah dalam Al-Qur’an
dalam mengawali ayat-ayat-Nya.
Sedangkan ungkapan minimal yang
harus diucapkan orang beriman,
ketika mendapatkan kebaikan melalui
perantaraan manusia, mengucapkan
pujian dan do’a, misalnya,
jazaakallah khairan (semoga Allah
membalas kebaikanmu). Disebutkan
dalam hadits Bukhari dan Muslim
dari Anas r.a., bahwa kaum
Muhajirin berkata pada Rasulullah
saw., ”Wahai Rasulullah saw., orang
Anshar memborong semua
pahala.” Rasul saw. bersabda,
”Tidak, selagi kamu mendoakan dan
memuji kebaikan mereka.”
Dan ucapan syukur yang paling
puncak ketika kita menyampaikan
kenikmatan yang paling puncak
yaitu Islam, dengan cara
mendakwahkan kepada manusia.
At-Tha’ah
Allah menyebutkan bahwa para nabi
adalah hamba-hamba Allah yang
paling bersyukur dengan
melaksanakan puncak ketaatan dan
pengorbanan. Dan contoh-contoh
tersebut sangat tampak pada lima
rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi
Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi
Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw.
Allah swt. menyebutkan tentang
Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh
a.s.) adalah hamba (Allah) yang
banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Dan lihatlah bagaimana Aisyah r.a.
menceritakan tentang ketaatan
Rasulullah saw. Suatu saat
Rasulullah saw. melakukan shalat
malam sehingga kakinya terpecah-
pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau
melakukan ini, padahal Allah telah
mengampuni dosa yang lalu dan
yang akan datang.” Berkata
Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku
menjadi hamba yang bersyukur?“
(Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari
Atha, berkata, aku bertanya pada
‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu
yang paling engkau kagumi yang
engkau lihat dari Rasulullah saw.”
Aisyah berkata, “Adakah urusannya
yang tidak mengagumkan? Pada
suatu malam beliau mendatangiku
dan berkata, ”Biarkanlah aku
menyembah Rabbku.” Maka beliau
bangkit berwudhu dan shalat. Beliau
menangis sampai airmatanya
mengalir di dadanya, kemudian
ruku dan menangis, kemudian
sujud dan menangis, kemudian
mengangkat mukanya dan
menangis. Dan beliau tetap dalam
kondisi seperti itu sampai Bilal
mengumandangkan adzan salta.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah
saw., apa yang membuat engkau
menangis padahal Allah sudah
mengampuni dosa yang lalu dan
yang akan datang?” Rasul saw.
berkata, “Tidak bolehkah aku
menjadi hamba Allah yang
bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu
Hibban, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu
‘Asakir).
Tambahan Nikmat
Refleksi syukur yang dilakukan
dengan optimal akan menghasilkan
tambahan nikmat dari Allah
(ziyadatun ni’mah), dalam bentuk
keimanan yang bertambah
(ziyadatul iman), ilmu yang
bertambah, (ziyadatul ‘ilmi), amal
yang bertambah (ziyadatul amal),
rezeki yang bertambah (ziyadatur
rizki) dan akhirnya mendapatkan
puncak dari kenikmatan yaitu
dimasukan ke dalam surga dan
dibebaskan dari api neraka.
Demikianlah janji Allah yang
disebutkan dalam surat Ibrahim ayat
7, “Dan (ingatlah juga), tatkala
Tuhanmu memaklumkan:
“Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar